“Coba Yudi lihat, daratan di Aceh Singkil ini, semenjak Gempa dan Tsunami Aceh 2004 lalu terus menurun. Nanti, akan kelihatan dengan jelas, bagaimana sebuah meunasah di Desa Kilangan masuk ke dalam tanah” Pak Onrizal mencoba memecahkan suasana yang cukup kaku sepanjang perjalanan kami di pertengahan bulan Juli 2017 lalu.
Percakapan, demi percakapan mulai
mengalir secara perlahan. Ini adalah kesempatan terbaik saya, untuk bisa
mengorek ilmu Alam kawasan Rawa di Aceh melalui salah satu ahlinya. Beliau,
bernama lengkap Onrizal, Phd. Dosen sekaligus Peneliti pada Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara, spesialisasi di Tropical
Forest Ecology. Artinya, saya berada di mobil yang tepat untuk menuju ke Rawa
Singkil yang merupakan salah satu hutan Tropis sekaligus hutan Mangrove.
Jujur saja, saya sempat bingung
bercampur bahagia kala sebuah undangan masuk ke laman surat elektronik saya
beberapa minggu sebelumnya.
Bahagia, karena akhirnya saya
bisa mewujudkan mimpi untuk melihat kawasan rawa terluas di Aceh. Kapan lagi,
kan? Bingung, karena tema undangan yang diberikan cukup membuat otak saya yang
telah bersarang laba-laba ini makin berkerut.
Melihat dan meliput kegiatan Survey Biota Air dan Tumbuhan Bawah untuk
melengkapi data biodiversity dalam revisi Rencana Pengelolaan dan Penyusunan
Blok SM/KPHK Rawa Singkil yang dilaksanakan di ketiga resort (Singkil, Runding,
dan Trumon). Kegiatan survey ini sendiri
bertujuan akhir agar dapat memahami
tingkat keanekaragaman hayati yang dimiliki oleh kawasan tersebut.
Pusing? Bingung? Sama!
Pertanyaan awal yang terbesit adalah,
Apa sebenarnya Suaka Margasatwa Rawa Singkil itu? Iya, sangat amat sederhana. Begitulah,
saya benar-benar tak paham sama sekali.
Empat hari sebelum keberangkatan
ke Aceh Singkil, saya terpaksa memberanikan diri untuk menemui pimpinan Balai
Konservasi Sumber Daya Alam provinsi Aceh untuk menanyakan perihal tersebut.
Kalian boleh tertawa, tapi sungguh, saya nekat. Daripada tak paham lalu
sok paham?
“Pak, Saya Yudi, saya ingin masuk ke kawasan Suaka Margasatwa Rawa Singkil
dan menulis tentangnya. Tapi Pak, saya tak paham apa itu Suaka Margasatwa Rawa Singkil,
bisa tidak, Tolong bapak jelaskan dengan bahasa yang sangat sederhana?” Ya,
begitulah pertanyaan yang saya tanyakan kepada Pak Sapto. Beliau tersenyum dan
tertawa kecil
“Ya Ampun Yud, Kamu tahu spon? Tahu kan fungsi spon? Dia menyerap air
dan bisa menyimpannya bukan? Begitulah salah satu fungsi Lahan Gambut yang
berada di Suaka Margasatwa Rawa Singkil. Jadi, ketika musim hujan turun, dan
air melimpah. Nah, Lahan gambut yang ada di Singkil, akan menyerap dan
menyimpannya. Lalu, ketika musim kemarau, air yang telah disimpan oleh lahan
tersebut dilepaskan kembali. Mengalirlah ia menuju ke anak-anak sungai
terdekat. Ini baru dari satu sisi saja. Baru sisi sumber air. Kita belum lagi
membahasnya dari segi ekologi, ekosistem dan lainnya. Saya tidak akan cerita
banyak, kamu kesana saja dulu. Dan, Lihatlah sendiri betapa kayanya daerahmu
ini”
Kawan, hari itu, di sebuah ruangan sederhana, saya tertegun tak bergeming. Kehilangan kata-kata untuk pertanyaan selanjutnya. “Lihatlah sendiri betapa kayanya daerahmu ini” adalah sebuah kesimpulan yang indah sekaligus menampar saya dengan cukup telak. Tekad semakin bulat, koyo saya stok, minyak angin, sunblock, dan action cam masuk dalam list barang utama yang harus di bawa!
Ekosistem Rawa Perlahan Terganggu
Boat merah marun pudar yang berisikan 6 orang ini mulai gagah mengarungi sungai Aceh Singkil yang berwarna bak susu coklat ini. Duduk berjejer dari depan ke belakang. Bang Zulfan, salah satu photographer wildlife Aceh duduk paling depan, tepat di atas haluan boat. Saya, dibelakangnya, lalu berturut-turut, Pak Onrizal, Pak Otan (local guide), Mulya, dan terakhir adalah Ustad Amra yang memegang kemudi boat.
Pagi menjelang siang, cuaca yang cerah, langit biru, berhasil memberikan kesan pertama yang luar biasa kepada saya dan team yang baru pertama kali ke Suaka Margasatwa Rawa Singkil. Sudah, jangan tanya betapa takjubnya saya ketika melihat beberapa ekor Elang laut bertengger gagah di pucuk-pucuk pohon mangrove. Tak ada satu sudutpun yang tak instagram-able, tak ada satu sudutpun di Rawa singkil ini yang tak Magnificent.
“kawasan Suaka Margasatwa Rawa Singkil
sebenarnya begitu kaya, Yud. Biota bawah airnya begitu kaya. Anggrek hutan
apalagi. Kamu mau yang bagaimana? Ada!, satwa langka seperti harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrensis), Orangutan Sumatera, ada!
Buaya, kamu tadi tanya buaya kan? Nanti pas hari menjelang sore kamu akan
melihatnya dengan jelas di tepi tepi sungai Rawa ini” Pak Onrizal kembali
memecahkan suasana. Suaranya bersaing dengan suara boat robin milik ustad Amra
dengan sesekali diiringi oleh cuitan burung-burung. Oh Tuhan, aku jatuh cinta
dengan Rawa Singkil!
Saya membetulkan diri. Mencari posisi
yang nyaman untuk bisa mendengarkan penjelasan beliau lebih panjang. Kondisi alam
yang indah menjadi ruang kuliah saya hari itu. Dari paparannya lah, saya mulai
paham kalau Rawa yang indah ini, mulai terancam.
Pembukaan lahan sawit secara
besar-besaran, pembalakan liar, perburuan satwa langka sampai hampir punahnya
Biawak di kawasan ini, mulai menunjukkan efek negatif. Bila semua saya jabarkan,
maka tak ayal kalian akan membaca cerita ini layaknya membaca makalah ilmiah
Thesis salah satu mahasiswa magister ilmu kehutanan.
Kawasan rawa yang dalam Keputusan
Menteri Kehutanan Nomor 166/Kpts-II/1998, memiliki luas 102.500 hektare. Akan tetapi pada pada tahun 2015, Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan dalam Surat Keputusan Nomor 103/MenLHK-II/2015 mengurangi luasannya menjadi
81.338 hektar, kini menjadi salah satu kawasan populasi Orangutan Sumatera
terpadat. Namun, ya begitulah...
“buaya di sini sudah terlalu banyak, Dek. Kalau dulu, buaya-buaya di
sini hampir tidak pernah menyerang warga yang mencari lokan (sejenis kerang
rawa). Tapi hari ini, ada warga di Kuala Baru yang di serang ketika dia pulang
dari sekolah.” Pak Otan, yang sedari tadi diam mulai memberikan sebuah
fakta yang mencengangkan. Kok bisa?
Ternyata, hal itu terjadi
disebabkan tidak berimbangnya lagi ekosistem di Rawa Singkil. Predator buaya
diburu tanpa henti. Ya, Biawak, adalah predator telur dan anak buaya rawa. Sayangnya, Biawak kini mulai langka karena terus di buru
lalu dijual ke luar kawasan. Ada yang mengatakan dijual ke pulau Nias, untuk
di sate dan di goreng. Ada lagi yang mengatakan di bawa ke negeri Tiongkok
untuk dijadikan obat. Yang mana yang benar? Entahlah. Intinya, Biawak mulai
langka di sini.
Dulu, katanya, saat di Singkil
banyak Biawak, sangat sedikit telur buaya yang sampai menetas, karena dimakan
biawak. tapi kini, hampir tiap bulan ada puluhan anak buaya yang menetas, lalu
masuk sungai dan terkadang berjemur secara berkelompok di pinggir sungai.
Ini, hanya sebuah contoh kecil
akan kacaunya ekosistem. Belum lagi dari banyaknya limbah pestisida yang masuk
ke sungai Singkil atau sungai Alas ini. Dan, jika dilihat dari efek mulai
berkurangnya hutan akibat pembalakan liar yang kini mulai menyumbang devisa
banjir ke kawasan Aceh Singkil yang memang sebagian besar wilayahnya mulai
menurun.
![]() |
bangau Purple Heron foto @zulfanmonika |
Tak terasa, waktu jua yang
mengharuskan kami untuk kembali ke desa Kilangan. Semburat jingga di ujung
cakrawala mulai terlihat. Tak cukup terang, karena tertutupi awan kelabu. Bergulung-gulung,
meneteskan bulir-bulir gerimis. Masuk sampai ke relung hati, membuat saya tak
kuasa menahan haru dan sedih. Langit sore itu, memberikan kesimpulan kepada
saya akan kondisi Suaka Margasatwa Rawa Singkil. Indah, tapi kelabu...
By : Yudi Randa
Travel Blogger Aceh
![]() | |
Travel Blogger Aceh
Alamnya indah, tapi sangat menantang dengan banyaknya buaya.
ReplyDeleteSementara biawak hampir langka. Apakah hal ini sering di sosialisasi oleh Instanti terkait tentang Kegunaan biawak yg memperhambat berkembangnya buaya?
bisa jadi bang Puji, tapi saya sendiri belum sempat mengikuti hal tersebut.
DeleteTulisan dan foto-fotonya keren. Menarik sekali sepertinya tempatnya ya... semoga suatu saat bisa berkunjung kesana, (sekalian wisata mancing)...hehehe. http://www.conservationews.tk/
ReplyDeletesip...semoga segera ke sini
Deletepertanyaan itu selalu saya tanyakan Ihan...
ReplyDeleteYr
Masih sngat alami ya..
ReplyDeleteSemoga akan terus tetap terjaga selamanya..
amin.. saatnya mas anggara mengunjunginya sesegera mungkin :)
DeleteSalam Rimba ,
ReplyDeleteSudah banyak aturan untk menjaga hutan dan ekosistem. Terakhir tentang penundaan ijin pada lahan gambut yang dituangkan dalam kesatuan hidrologi gambut indonesia, namun masih ada saja p3langgaran yg terjadi...
Mkin peran aktif masyarakat disekitar kawasan bisa menjaga ekosistem suatu kawasan tsb.
Sebab skrg ini kita tdk bisa m3nghentikan deforestasi, hnya saja kita bisa memperlambatnya...
Salam rimba.